Demokrasi Tingkat Lokal Terancam: Banyak Suara Tak Terpakai Di Wonogiri. Apa yang Salah?

PENDAHULUAN

Pilkada Serentak telah berlalu namun masih ada jejak yang ditinggalkan dan menarik untuk kita telisik lebih jauh. Salah satunya adalah fenomena naiknya Invalid vote di Kabupaten Wonogiri, terkhusus pada bagian Pemilihan Bupati. Sehubungan dengan sistem one man one vote dalam perhelatan Pilkada serentak pada Rabu, 27 November 2024 kemarin, maka satu suara masyarakat bukan hanya sekedar angka, setiap suara berharga sebagai representasi kehendak dari setiap masyarakat, tentang bagaimana aspirasi mereka dapat diwujudkan, dan tentang melalui jalan mana masa depan akan ditempuh. Oleh karena itu menarik kiranya jika kita mencoba menggali lebih dalam mengapa pada perhelatan yang menentukan masa depan masyarakat ini, sebagian dari kita belum bisa memanfaatkannya secara maksimal. Naiknya invalid vote ini menjadi tanda tanya besar bagi praktik demokrasi tingkat lokal. Apa yang menjadi faktor utama banyaknya surat suara tidak sah (invalid vote) di Kabupaten Wonogiri?

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wonogiri Satya Graha juga menyayangkan adanya kenaikan persentase suara tidak sah di Wonogiri terlebih pada pemilihan Bupati. Hal itu menjadi fokus utama bagi kami, Ikatan Mahasiswa Berprestasi (IMAPRES) Kabupaten Wonogiri untuk mengkaji lebih dalam mengenai alasan dan faktor-faktor penyebab banyaknya surat suara tidak sah di Kabupaten Wonogiri. Tujuan kajian ini juga merupakan harapan kami sebagai masyarakat sekaligus mahasiswa IMAPRES untuk mendorong pemilihan umum kedepannya dengan asas Luber Jurdil (Langsung, Bebas, Jujur, dan Adil) dan partisipasi publik yang lebih maksimal.

  1. Langkah Awal IMAPRES: Menelisik Fenomena Invalid Vote di Desa Purwosari

    Ikatan Mahasiswa Berprestasi (IMAPRES) Kabupaten Wonogiri memulai langkah strategisnya dalam menyikapi dinamika politik pasca Pilkada serentak 2024 khususnya pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Wonogiri melalui kegiatan studi lapangan di Desa Purwosari, Kecamatan Wonogiri. Kegiatan ini menandai kajian lapangan perdana IMAPRES sejak Pilkada serentak diselenggarakan, dengan fokus pada isu surat suara tidak sah (invalid vote) yang menjadi fenomena mencolok dalam kontestasi demokrasi lokal tersebut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Wonogiri melaporkan bahwasannya terdapat 28.142 surat suara tidak sah (invalid vote) dalam Pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, yang merupakan 4,77 persen dari total 589.157 pengguna hak pilih. Disisi lain, pada Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Wonogiri, tercatat 25.599 surat suara tidak sah atau sekitar 4,34 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa ada persoalan mendasar yang perlu dikaji lebih dalam baik dari sisi teknis penyelenggaraan pemilu, pemahaman masyarakat, hingga dinamika sosial politik setempat.

    Desa Purwosari dipilih sebagai lokasi penelitian bukan tanpa alasan. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Wonogiri, desa ini mencatat tingkat invalid vote tertinggi di Kabupaten Wonogiri, menjadikannya titik krusial dalam upaya evaluasi dan pemetaan persoalan demokrasi elektoral. Salah satu warga berinisial B menyebutkan bahwa dirinya dan beberapa warga lain tidak merasa cocok dengan pasangan calon gubernur maupun bupati yang tersedia saat itu. Baginya, surat suara yang tidak sah adalah bentuk ekspresi kekecewaan terhadap pilihan politik yang disediakan. “Kalau tidak ada yang bisa dipilih, buat apa dicoblos?” ujarnya. Dalam studi ini, IMAPRES melakukan pendekatan kualitatif dengan wawancara langsung kepada beberapa warga dan petugas penyelenggara (KPPS) setempat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa penyebab invalid vote tidak tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.

  2. Invalid Vote Meningkat: Cerminan Ketidakpuasan dan Minimnya Edukasi Politik?

    Pilkada merupakan instrumen krusial dalam sistem demokrasi untuk menentukan apakah kepemimpinan di masa depan akan dipegang oleh individu yang berintegritas atau sebaliknya, sesuai dengan kehendak para pemilih demi masa depan diri mereka dan masyarakat secara keseluruhan. Berbagai golongan dari seluruh elemen masyarakat terkadang tidak selalu menjadi pemilih yang baik, ada yang menjadi golongan putih dengan tidak menggunakan hak pilihnya, ada yang menggunakan hak pilihnya namun dengan cara merusak surat suara dll. Namun, dibalik semua perbedaan prinsip itu pilihan tetaplah pilihan, tidak dapat disalahkan bagaimanapun juga tetap hal itu menjadi hak masyarakat dalam mengambil keputusan. Adanya fenomena invalid vote merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi pihak penyelenggara Pilkada. Angka surat suara tidak sah selalu meningkat setiap periode nya, dimana hal itu menjadi pertanyaan mendasar mengenai kualitas partisipasi demokratis masyarakat. Salah satu warga desa mengungkapkan pendapatnya terkait dengan alasan yang mungkin terjadi ketika surat suara terindikasi invalid vote. Yang pertama, yaitu adanya ketidakpuasan pasangan calon yang tersedia, hal ini diperkuat oleh salah satu perspektif penyelenggara (KPPS) tentang adanya dugaan fanatisme warga lokal terhadap tokoh lokal atau pasangan calon yang diusung oleh partai tertentu. Selain itu, muncul pula dugaan bahwa ada tokoh lokal yang sengaja mempengaruhi warga untuk melakukan invalid vote sebagai bentuk perlawanan atau kritik terhadap situasi politik yang ada. Beberapa faktor seperti kurangnya kegiatan kampanye oleh pasangan calon kepala daerah juga dikemukakan oleh salah satu warga dan pihak penyelenggara (KPPS). Mereka mengaku bahwa partisipasi politik dalam mengedukasi dan menarik simpati masyarakat setempat dianggap kurang maksimal dalam pelaksanaannya. Ketika pemilih merasa tidak ada satupun kandidat yang benar-benar merepresentasikan aspirasi dan kepentingan mereka, sebagian memilih untuk tetap datang ke TPS namun dengan sengaja merusak atau mengosongkan Surat suara sebagai bentuk protes politik. Dalam perspektif ini, invalid vote merupakan perwujudan dari silent resistance yang dilakukan secara legal namun sarat makna.

    Kedua, tingginya angka suara tidak sah juga tidak lepas dari persoalan minimnya edukasi berkaitan dengan politik di lingkungan masyarakat. Banyak pemilih pemula, terutama di wilayah pedesaan atau pemilih yang belum memperoleh edukasi dengan baik, masih belum sepenuhnya memahami prosedur pemungutan suara yang benar. Kurangnya sosialisasi teknis oleh penyelenggara Pilkada maupun lemahnya peran partai politik dan tokoh masyarakat dalam memberikan edukasi politik tentu memperparah kondisi ini. Selain itu, faktor teknis seperti desain surat suara yang kurang ramah bagi pemilih lansia atau difabel juga semakin menambah kebingungan oleh sebagian masyarakat. Akibatnya, kesalahan administratif seperti mencoblos dua kali, tidak mencoblos di tempat yang tepat, atau mencoret surat suara, kerap terjadi tanpa disadari.
    Dari temuan ini, IMAPRES Wonogiri mencatat beberapa indikasi utama penyebab tingginya invalid vote:

    • Ketidakpuasan terhadap pasangan calon yang tersedia.
    • Memiliki fanatisme terhadap aktor politik yang tidak mencalonkan diri di pilkada.
    • Adanya pengaruh dari tokoh masyarakat yang bersifat provokatif.
    • Minimnya pemahaman teknis masyarakat dalam pencoblosan.
    • Kurangnya sosialisasi yang merata dari penyelenggara pemilu.

Secara keseluruhan, fenomena meningkatnya invalid vote harus dikaji secara lebih kritis. Ia bukan hanya soal teknis, melainkan menyimpan pesan politik yang penting. Pemerintah daerah, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk memperbaiki kualitas edukasi politik, memperluas akses informasi yang adil dan inklusif, serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem politik yang berjalan.

Rekor Invalid Vote Pilkada Wonogiri Dalam Data, Cermin Dari Darurat Demokrasi

  • Pilkada Wonogiri 2024 mencatatkan rekor sebagai Pilkada dengan persentase suara invalid vote tertinggi sepanjang sejarah pilkada di Kabupaten Wonogiri. Angka invalid vote pada Pilkada tahun 2024 mencapai 28.142 suara (4,77%) pada pemilihan gubernur dan 25.599 (4,34%) pada pemilihan bupati. Jumlah tersebut dapat diketahui melalui informasi yang bersumber dari website KPU Wonogiri, yang juga memaparkan Invalid Vote beserta dengan Jumlahnya. Adapun jenis temuan Invalid Vote terdiri dari :
    Terdapat lebih dari satu coblosan sejumlah 16.567 pada pemilihan Gubernur dan 3.341 dari 5018 sampel pada pemilihan Bupati.
  • Terdapat lebih dari satu tanda coblos pada kertas surat suara, meskipun di luar area kotak gambar pasangan calon, 890 pada pemilihan Gubernur dan 120 dari 5018 sample.
  • Tanda coblos di luar kotak gambar pasangan calon, 1.265 pada pemilihan Gubernur dan 326 dari 5018 sampel pada pemilihan Bupati.
  • Memberikan coretan pada surat suara, 10 pada pemilihan Gubernur dan 1 dari 5018 sampel pada pemilihan Bupati.
  • Surat suara dengan sengaja diberi tanda dengan dibakar, dianggap tidak sah, 42 pada pemilihan Gubernur dan 5 dari 5018 sampel pada pemilihan Bupati.
  • Surat suara tidak ter tercoblos 9.231 Pada pemilihan Gubernur dan 1217 dari 5018 sampel pada pemilihan Bupati.
  • Lain-Lain, 137 pada pemilihan Gubernur dan 8 dari 5018 sampel pada pemilihan Bupati

Penyebab :

  • Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh KPU Wonogiri, terungkap beberapa alasan masyarakat memilih invalid vote, termasuk rasa sungkan terhadap tetangga, tidak mendapatkan manfaat dari memilih, atau tidak memiliki calon pilihan.
  • Angka invalid vote dalam 3 pemilihan di Wonogiri sebelumnya Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah tahun 2018 sebesar 13.477, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019 sebesar 12.603, dan pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Wonogiri Tahun 2020 sebesar 13.916 suara tidak sah.
  • Asumsi Penyebab Invalid Vote menurut KPU Wonogiri tahun 2021
    • atribut kelembagaan sistem politik yang mendorong pemberian suara secara tidak sah.
    • konteks sosial ekonomi tempat tinggal pemilih yang menyebabkan pemilih kurang terinformasi sehingga melakukan kesalahan dalam pemberian suara.
    • bentuk protes baik terhadap peserta pemilihan, sistem pemilu dan sistem politik, pemerintah, maupun penyelenggara pemilu dengan secara sengaja merusak surat suara mereka.
  • Pada Diseminasi surat suara tidak sah yang digelar KPU Wonogiri pada 17 Maret 2025 terdapat sejumlah asumsi yang dilontarkan kalangan Akademisi, Politisi, dan jurnalis. Asumsi tersebut meliputi:
    • Pemilih tidak memiliki calon yang menarik untuk dijagokan.
    • Pemilih merasa kondisi pasca pilkada akan kurang lebih sama siapapun yang terpilih tidak.
    • Pemilih tidak merasa dekat dengan Calon Kepala Daerah.
    • Pemilih memilih merusak surat suara alih-alih tidak mencoblos karena khawatir surat suaranya yang tidak digunakan akan disalahgunakan.
    • Terdapat pemilih yang iseng merusak surat suara.
  • Penyebab Invalid Vote berdasarkan hasil kuesioner penelitian IMAPRES Juli-Agustus 2025
    • Motivasi Rasional dan Disengaja
      Responden merasa calon yang tersedia kurang sesuai harapan, kredibel, atau memiliki visi misi yang kurang sesuai dengan aspirasi rakyat. Selain itu, sebagian responden secara sadar menggunakan surat suara tidak sah sebagai bentuk protes simbolik terhadap sistem pemerintahan atau institusi politik secara keseluruhan.
    • Motivasi Tidak Disengaja
      Responden yang secara tidak sengaja menjadikan surat suara tidak sah umumnya dilatarbelakangi oleh faktor ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman teknis. Banyak dari mereka mengaku bahwa ketidakabsahan surat suara disebabkan oleh human error atau kesalahan manusia, seperti kurangnya pemahaman mengenai tata cara mencoblos yang benar, kebingungan, kurang teliti, dan kurang fokus saat berada di bilik suara. Selain itu, faktor sosial dan demografi s juga turut mempengaruhi terutama pada kelompok lansia.
    • Faktor Penyelenggara
      Berdasarkan data yang kami peroleh dari sejumlah 1.274 responden yang mengisi kuesioner, diketahui bahwa masih terdapat kurangnya perhatian petugas TPS di beberapa tempat seperti yang dikeluhkan oleh responden saat menjawab pertanyaan “apakah responden menerima penjelasan di TPS?” dengan sejumlah kecamatan yang memiliki persentase terendah berasal dari kecamatan Karangtengah (70%), Purwantoro (79,3%), dan Bulukerto (82,9%).

Kesimpulan & Saran

Invalid Vote merupakan konsekuensi logis yang tak dapat dielakan dari penyelenggaraan pemilu yang menganut sistem hak pilih dimana pemilih memperoleh kebebasan untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya. Meningkat atau menurunnya angka invalid vote sebenarnya bukan hal yang baru, namun lonjakan invalid vote secara signifi kan hingga 83,9% bukanlah suatu hal yang lumrah, lonjakan angka ini menunjukkan terdapat suatu hal yang salah pada penyelenggaraan pilkada 2024. Banyak spekulasi yang muncul mulai dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, hingga pemilih. Namun dari berbagai data yang kami peroleh faktor yang berpotensi besar memicu invalid vote meruncing pada sejumlah hal seperti tidak adanya calon yang cocok dengan keinginan pemilih, kurangnya sosialisasi dan edukasi dari pihak terkait, hingga bentuk protes dari para pemilih.

Dalam upaya mengurangi angka invalid vote di pilkada berikutnya diperlukan sinergi dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pemilu. Bagi KPU selaku pihak penyelenggara diperlukan peningkatan pelayanan di masing masing TPS utamanya dengan lebih selektif memilih petugas PPS yang proaktif dan profesional dalam menjalankan tugas terlebih di daerah yang masih banyak ditemui kasus petugas PPS tidak memberikan penjelasan kepada pemilih, KPU juga perlu bekerja keras untuk dapat meningkatkan minat memilih dari para pemilih muda yang dalam penelitian ini diketahui menjadi kelompok generasi dengan persentase invalid vote tertinggi. Teruntuk peserta pemilu khususnya dari Calon kepala daerah dan partai pengusung, perlu adanya pendekatan visi-misi calon yang lebih gencar ke masyarakat. Ketika turun ke masyarakat peserta pemilu hendaknya juga turut aktif memberikan edukasi tentang tata cara memilih, bukan sebatas kampanye semata, serta diharapkan mampu untuk membagi Fokus antara pilkada dengan pemilu dan pilpres apabila di kemudian hari diadakan di tahun yang sama sehingga euforia pemilih tidak habis sebelum pilkada terlaksana.

“Vox populi vox dei”

Penyusun :

  1. Alifa Rizzallul Haq (Divisi HPP)
  2. Ayu Novita Sari (Divisi RTI)
  3. Alya Puteri Nugraheni (Divisi RTI)
  4. Bryan Poeranie Evan Endio (Divisi HPP)
  5. Elfi sa Putri Aprilia (Divisi HPP)
  6. Faza Abdi Salam Al Jawawi
  7. Ida Rahayu (Divisi RTI)
  8. Muhammad Fariz Ervani (Divisi RTI)
  9. Nalea Ananda Gayatri (Divisi RTI)
  10. Riyandini Amalia Bilqis (Divisi HPP)

Download Link Pdf pada tautan berikut: http://imapreswonogiri.id/wp-content/uploads/2025/09/Artikel-Imapres-1.pdf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *