Masyarakat Menggugat: Kontroversi Pabrik Semen di Pracimantoro

Pracimantoro, salah satu kecamatan di Kabupaten Wonogiri yang berbatasan langsung dengan Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini dikenal dengan bentang alam khas berupa perbukitan karst yang merupakan bagian dari Gunung Sewu. Bahkan, kawasan karst ini diakui sebagai UNESCO Global Geopark sejak tahun 2015, dengan pembaruan status pada tahun 2023, yang menegaskan pentingnya kawasan ini dalam konservasi, edukasi, dan pariwisata. Selain menjadi warisan geologi dunia, ekosistem karst juga berperan sebagai penyimpan air alami yang sangat penting bagi lingkungan dan masyarakat setempat.

Namun, keberadaan kawasan karst ini tidak menghalangi rencana pembangunan pabrik semen di Pracimantoro, hasil kolaborasi pemerintah dengan PT Anugerah Andalan Asia (PT AAA) dan PT Sewu Surya Sejati (SSS). Lokasi industri ini diklaim berada di luar Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu, sesuai dengan Peraturan Bupati Wonogiri Nomor 1 Tahun 2024 tentang Rencana Detail Tata Ruang Geopark Gunung Sewu Segmen Wonogiri. Pabrik ini direncanakan berdiri di Desa Watangrejo, Desa Suci, Desa Sambiroto, dan Desa Gambirmanis, dengan luas lahan mencapai 110 hektare dan kapasitas produksi 4,2 juta ton semen per tahun. Sementara itu, PT Sewu Surya Sejati (SSS) akan melakukan operasi pertambangan batu gamping dengan kapasitas 4,5 juta ton per tahun.

Pembangunan pabrik semen di Pracimantoro memicu berbagai macam reaksi dari masyarakat luas. Sejumlah masyarakat mendukung pendirian pabrik semen ini karena dinilai akan membuka lapangan pekerjaan baru dan mendongkrak perekonomian di Wonogiri. Pendapat ini tentu saja bukan pendapat tak berdasar, nilai investasi pendirian pabrik mencapai Rp 6T yang tentunya akan berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi Wonogiri. Namun tak sedikit masyarakat yang menolak utamanya masyarakat di sekitar area pendirian pabrik.

Sebagian masyarakat Pracimantoro diresahkan dengan kemunculan rencana pembangunan pabrik semen di Dusun Pelem, Desa Watangrejo, Kecamatan Pracimantoro. Keresahan masyarakat tersebut bukan timbul tanpa alasan, pembangunan pabrik semen seluas 123 hektare dan area pertambangan seluas 187 hektare tersebut dikhawatirkan menimbulkan masalah lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan lain, mengingat wilayah yang rencananya akan digunakan sebagai wilayah industri ini terletak tak jauh dari kawasan karst.

Masyarakat mengkhawatirkan dampak pembangunan pabrik sebagaimana yang terjadi di tempat lain salah satunya di Grobogan, di mana pabrik semen di daerah tersebut sudah beroperasi sejak tahun 2022. Pendirian pabrik semen tersebut, tentu tidak lepas dari berbagai dampak bagi sekitar, seperti adanya kerusakan ekosistem karst, pencemaran air dan udara, serta menimbulkan kerusakan hutan. Di sisi sosial ekonomi pun pendirian pabrik di Grobogan juga menyebabkan konflik dengan masyarakat, menimbulkan ketimpangan ekonomi, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat. Belum lagi kondisi Pracimantoro yang rentan kekeringan juga turut memperburuk keadaan.

Protes masyarakat Pracimantoro dipelopori oleh komunitas Talijiwo yang diinisiasi oleh Bapak Parmin, Bapak Parwanto, dan Bapak Warso. Pada hari Sabtu, 22 Maret 2025, Imapres Wonogiri berkesempatan untuk mewawancarai Bapak Suryanto selaku perwakilan dari komunitas Talijiwo. Dalam pembicaraan kali ini, beliau mengungkapkan keresahannya terhadap pembangunan pabrik di Desa Watangrejo ini. Menurut pernyataannya, pembangunan pabrik ini tidak hanya akan berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada aspek sosial ekonomi. Dari sisi lingkungan, pembangunan pabrik yang berdekatan dengan kawasan konservasi karst mengancam keberlangsungan kawasan karst. Beliau mengatakan meskipun tidak dilakukan di area KBAK, pembangunan tersebut dikhawatirkan memengaruhi keberlangsungan ekosistem karst. Bapak Suryanto beranalogi bahwa kawasan karst di Pracimantoro serupa dengan keju yang berlubang, di mana lubang-lubangnya saling terhubung satu sama lain. Apabila terdapat salah satu saluran yang terganggu, hal tersebut akan memengaruhi saluran lainnya. Selain itu, proses pembuatan semen yang membutuhkan 12,6 juta liter air per tahun atau 12.600 kubik air, dengan rincian setiap satu sak semen membutuhkan setidaknya 15 liter air. Kebutuhan air yang begitu besar dikhawatirkan akan memperparah kondisi Pracimantoro yang rawan mengalami kekeringan. Bahkan, kasus kekeringan terakhir baru saja terjadi beberapa tahun silam, tepatnya pada tahun 2020.

Kondisi alam Pracimantoro yang didominasi oleh kawasan karst ditambah dengan kebutuhan air di pabrik semen yang begitu besar menimbulkan kekhawatiran secara luas di masyarakat. Selain itu, dari perspektif  ekonomi, pembangunan pabrik yang mencaplok area persawahan dan perkebunan warga berpotensi mematikan mata pencaharian masyarakat, belum lagi tidak ada jaminan bagi masyarakat setempat untuk mendapat kontrak jangka panjang apabila pabrik telah berhasil berdiri. Masyarakat setempat yang sudah terlanjur merasa ‘melu handarbeni’ atau merasa memiliki tanah kelahirannya merasa keberatan apabila nantinya harus angkat kaki dari tanah kelahirannya sendiri sebagai akibat dari polusi atau efek ekonomi yang diakibatkan oleh pendirian pabrik. Pembangunan pabrik ini juga memicu munculnya konflik horizontal di masyarakat, muncul kelompok pro dan kontra.

Pendirian pabrik semen ini dinilai mengancam kelestarian geopark karst Pracimantoro. Menurut Bapak Suryanto, area pembangunan pabrik dan tambang mencaplok KBAK, kendati pihak PT Anugerah Andalan Asia (AAA) berdalih pembangunan pabrik di luar daerah KBAK. Bapak Suryanto berpendapat lain, dirinya menilai Desa Watangrejo yang akan didirikan pabrik telah memenuhi lima syarat suatu wilayah diklasifikasikan sebagai wilayah karst yakni, terdapat eksokarst dengan visual permukaan berupa bukit-bukit dan cekungan, terdapat endokarst berupa sungai-sungai bawah tanah yang dibuktikan dengan luweng-luweng; ponor; atau sumber mata air, ketebalan batuan karbonat lebih dari 30 meter, terdapat fauna endemik, seperti kelelawar di goa dan galian tambang masa lalu, serta adanya larutan karst masih aktif. Tidak hanya karena faktor KBAK yang ganjil, Bapak Suryanto juga menilai proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bermasalah pada publikasi, di mana menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 Pasal 18 ayat (1) tertulis “Tenggang waktu pengajuan gugatan Tata Usaha Negara Lingkungan Hidup di pengadilan dihitung sembilan puluh hari sejak putusan atas upaya administratif diterima oleh warga masyarakat atau diumumkan oleh badan dan/atau pejabat administrasi pemerintahan yang menangani penyelesaian upaya administratif,” seharusnya dapat digugat atau di-review sebelum 90 hari, tetapi beliau mengatakan, publikasi baru dapat diakses publik setelah 250 hari kemudian. Dalam menanggapi permasalahan ini, Bapak Suryanto mengambil pendekatan dengan menyampaikan permohonan kepada setiap lembaga untuk menunjukan kepeduliannya kepada masyarakat sesuai dengan otoritasnya masing-masing, salah satunya permohonan kepada Bupati Wonogiri untuk mencabut Peraturan Bupati Nomor 1 tahun 2024 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Gunung Sewu Segmen Wonogiri Tahun 2024-2044 yang menurutnya mencaplok sebagian wilayah KBAK di mana dia menduga adanya upaya “pembelokan” wilayah konservasi sehingga pembangunan pabrik menjadi dapat dimungkinkan. 

Kelompok kontra menegaskan, pendirian pabrik tidak memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Kontras dengan kelompok kontra, pihak yang menyatakan pro menilai pembangunan pabrik akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Mereka menganggap pemerintah tak akan tega untuk “membunuh” masyarakatnya sendiri. Bapak Suparno yang turut serta pada studi banding ke pabrik semen lain di Grobogan mengatakan bahwa tidak nampak debu di daun-daun, daerah di belakang pabrik persawahan masih bagus, dan debu yang dihasilkan dalam proses pembuatan semen dinilai memiliki kualitas yang lebih baik sebagai perekat sehingga debu tersebut ditampung dan tidak dibuang begitu saja. Pabrik juga membuatkan danau untuk mata air sehingga tidak mengganggu kondisi mata air lokal. Bapak Suparno menekankan bahwa inovasi dan kemajuan teknologi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Menurutnya, pemerintah tentu tidak akan membiarkan rakyatnya dirugikan dan yakin bahwa akan ada solusi untuk mengatasi dampak negatif yang dikhawatirkan oleh pihak yang menolak pembangunan pabrik. 

Disamping itu, aspek lain seperti kepemilikan lahan juga disoroti dalam konflik ini. Bapak Suparno berpendapat bahwa lahan yang telah dibeli seharusnya dapat dimanfaatkan sesuai dengan keinginan pemiliknya. Ia juga menyoroti bahwa hampir semua lahan yang ditargetkan sudah terjual. Bagi sebagian warga, keputusan untuk menjual lahan bukanlah pilihan yang mudah, melainkan sesuatu yang terpaksa dilakukan karena keterbatasan opsi yang tersedia, di mana Bapak Suparno mengatakan, “Sebenarnya saya sendiri tidak rela jika harus menjual tanah untuk pabrik semen, tetapi saya tidak bisa berbuat banyak, tanah itu milik keluarga dan mayoritas setuju untuk dijual.” 

Lebih lanjut, Bapak Suparno menyatakan bahwa kekhawatiran terhadap dampak lingkungan harus disikapi dengan mencari solusi, bukan semata-mata dengan penolakan. Menurutnya, yang terpenting adalah memastikan bahwa lahan sebagai sumber kehidupan tetap terlindungi, ketersediaan air tercukupi, serta masyarakat tidak mengalami kerugian akibat proyek ini. 

Pembangunan pabrik semen yang direncanakan akan dibangun di Pracimantoro bukan hanya sekadar proyek industri, melainkan juga mencerminkan tantangan besar dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Di satu sisi, pendukung proyek ini melihatnya sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membawa inovasi teknologi. Di sisi lain, kelompok yang menolak khawatir terhadap kerusakan lingkungan, hilangnya mata pencaharian, dan konflik sosial yang dapat muncul. 

Untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar, diperlukan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Diskusi yang terbuka, transparan, dan berbasis data ilmiah harus dilakukan untuk mencari solusi yang menguntungkan semua pihak.

Imapres berusaha memberikan pandangan dari dampak positif dan dampak negatif secara berimbang sehingga hal-hal yang dikhawatirkan masyarakat saat ini dapat menjadi masukan dan pertimbangan lebih lanjut bagi pemerintah dalam pendirian pabrik semen ini yang di mana isu terhadap keberlanjutan ekosistem lingkungan menjadi salah satu hal krusial dalam pembangunan pabrik ini.

Penyusun:

  1. Alifa Rizzallul Haq
  2. Indah Ayu Maharani
  3. Angella Raissa N.
  4. Wiwit Patmawati
  5. Khansa Arkhap Farica

 

Sumber: https://jatengprov.go.id/publik/unesco-revalidasi-gunung-sewu-di-wonogiri-wabup-semoga-bisa-berikan-nilai-tambah-bagi-masyarakat/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *